Sajak Senja Sorak Serentak
by : V. E.

           Sejak setahun silam, masih melekat erat memori masa mudanya. Suatu kisah yang ia simpan rapat-rapat dalam pikirannya, yang selalu membuatnya teringat akan hari istimewa itu. Saat-saat di mana insan dari dua dunia—dunia atas dan dunia bawah—bisa saling menatap dan berbincang.

           Hari itu datang berkala tiap empat tahun. Biasanya, ia selalu menunggu di tepi dermaga tua di desanya, duduk di atas lantai kayu yang lembab dan dingin sambil merasakan sejuk di tempat terpencil itu. Kemudian, si pemuda akan bersiul, siulannya nyaring sampai terdengar oleh burung di udara dan ikan di laut.

           Dua menit berselang, buih-buih gelembung akan muncul di permukaan laut. Si pemuda memejamkan mata, kemudian membuka matanya ketika sebuah panggilan menyapa telinganya.

           “Langit,” sapa gadis itu, sahabatnya.

           Keduanya bernyanyi, tak jarang saling membalas sajak. Atau kadang bercerita mengenai hidup masing-masing sampai lupa waktu dan malam menunjukkan wajahnya. Aluna suka saat malam tiba, pantulan cahaya rembulan di atas laut menurutnya sangat indah.

           Ada sajak yang paling Langit suka, sajak tentang senja yang mereka sorakkan serentak.

Horizon pembatas dua dunia
Maukah kau menolong diriku
Bukakan pintu untukku
Jangan biarkan hati bersedih
Senja nanti ikut menangis
Dan sukma pun turut berlari

           Tapi, hari ini tak seperti empat tahun sebelumnya. Sang gadis tetap menyapa Langit seperti biasanya, namun berselang lama baru disuarakan isi hatinya.

           “Langit,” panggil gadis itu pelan. “Kurasa kita tak bisa berbincang lagi, pun bertemu atau menatap muka. Aku punya duniaku, dan kau punya duniamu, aku tahu ini salah sedari lama kita berjumpa.”

           Ia berkata pelan-pelan, tak ingin menyingggung perasaan Langit. Walau ia tahu, Langit terbelalak mendengar kalimatnya.

           “Bukankah kita sudah berjanji untuk tak peduli dengan aturan itu? Bukankah kau yang bilang sendiri kalau ingin mengubah pandangan orang-orang?” Langit membalas.

           Pertanyaan kembali terlontar dari mulut Aluna, “Memangnya, kalau sudah begitu, mau bagaimana?”

           Tak sama itu salah. Mutlak. Pandangan para warga tak bisa disalahkan, pun dibenarkan—sudah turun temurun sejak nenek moyangnya baru bisa berjalan. Mereka punya dunianya masing-masing, tak usah keluar dari jalur dan aturan yang sudah ditetapkan.

           Malangnya, mereka adalah segelintir orang yang tak dimengerti oleh orang lain. Bahkan, orang lain tak berupaya untuk mengerti.

           Maka, mereka diam, tenggelam dalam gagasan masing-masing. Tak bergeming dari duduk, embusan angin jahil yang memainkan anak rambut pun tak dihiraukan—sebab mereka tak tahu apa yang harus diperbuat.

           “Kau tahu tentang apa saja? Sampai kau bisa berkata seperti itu.” Langit menggertakkan giginya, berusaha menahan rasa kesal yang mulai membuncah dalam dadanya.

           Yang bertanya kembali diam, mengatur napas dan emosinya; yang ditanya hanya bisa menjawab lamat-lamat.

           “Tapi, memang itu kenyataannya, bukan? Dunia atas dan dunia bawah sedari awal seharusnya tidak bertemu,” tutur Aluna pelan.

           Laut dan langit, mereka saling membutuhkan; apakah kita juga?

           Aluna membalikkan badannya, bersiap untuk kembali ke dunianya. “Hiduplah dengan bahagia,” ujarnya, meski Langit bisa mendengar kesenduan dalam kalimatnya. “Kau tak perlu menungguku lagi.”

           Dan gadis itu pun pergi, sebelum senja tiba dan mereka bisa menyuarakan sajak kesayangan Langit. Memorinya terhenti sampai di situ.

           Langit mendengus, mengeluarkan senyuman kecut. Kemarin-kemarin masih bisa ia mengulaskan lengkungan manis di bibirnya, kau jelek kalau kau cemberut, kata gadis itu.

           Ah, apa gunanya. Toh, dia tak ada di sini lagi. Tiga tahun atau tiga puluh tahun lagi tidak akan berarti.

           Sang pemuda beranjak bangkit, meninggalkan segala kepingan kenangan yang seakan menyakiti hatinya. Membiarkan sajak senja yang biasa mereka lantunkan, tenggelam bersama buih-buih air laut yang kembali ke dasarnya.